Senin, 29 Juni 2015

METODE IJTIHAD DAN PEMBARUAN UMAR BIN KHATTAB DALAM HUKUM ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Khalifah Umar dikenal sebagai khalifah yang sangat disiplin dan adil dalam memutuskan suatu perkara yang dihadapi oleh rakyatnya tanpa melihat latar belakang agama, etnis, ras, dan warna kulit. Ia tidak memandang apakah itu agama Islam atau Yahudi, ia akan tetap menyalahkan yang salah meskipun dari golongan Islam dan membenarkan yang benar meskipun dari golongan Yahudi. Umar juga dikenal sebagai tokoh yang berijtihad dalam mengambil keputusan. Meskipun pada kejadian tersebut sudah terjadi pada masa Rasul dan telah ditetapkan keputusannya oleh Rasulullah. Hal ini  Khalifah Umar lakukan, untuk kemaslahatan ummat dan memberikan efek jera pada pelaku kejahatan dan untuk mengurangi pelaku maksiat.
Khalifah Umar melakukan ijtihad menggunakan beberapa metode yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan suatu hukum fiqh. Hal ini perlu dilakukan, karena permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Islam semakin beragam dan kompleks disebabkan perkembangan zaman yang terjadi semakin cepat. Permasalahan-permasalahan tersebut perlu diselesaikan dengan cepat dan tepat agar tidak menimbulkan kebingungan dalam masyarakat Islam.
Hasil ijtihad Khalifah Umar memberikan khazanah pengetahuan yang luas dalam agama Islam yang belum diperoleh pada masa-masa sebelum Khalifah Umar, hal ini menyebabkan timbulnya pikiran-pikiran dan hukum-hukum baru dari hasil penetapan hukum yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab.
Berdasarkan latar belakang tersebut, materi yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana metode ijtihad khalifah Umar bin Khattab dan bagaimana pembaruan yang dilakukan khalifah Umar bin Khattab
II. Pembahasan
A.      Riwayat Hidup Umar bin Khattab
Umar bin Khattab lahir di kota Mekah pada tahun 513 M.[1] Nama lengkapnya adalah Umar bin Khattab bin Naufal bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qarth bin Razah bin ‘Adiy bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib.[2]   Ibunya bernama Khatamah binti Hasyim bin al Mughirah al Makhzumiyah.[3] Ia berasal dari bani Adi, salah satu bagian suku Quraisy.[4] Keluarga Umar tergolong keluarga kelas menengah, ia bisa membaca dan menulis yang pada masa itu merupakan sesuatu yang jarang. Umar juga dikenal karena fisiknya yang kuat dimana ia menjadi juara gulat di Mekkah.[5]
Sebelum memeluk Islam, sebagaimana tradisi kaum jahiliyah mekkah saat itu, Umar mengubur putrinya hidup-hidup.  Kemudian menurut beberapa catatan mengatakan bahwa pada masa pra-Islam, Umar suka mabuk-mabukan dengan cara meminum anggur. Namun, setelah menjadi muslim, ia tidak menyentuh alkohol sama sekali, meskipun belum diturunkan larangan meminum khamar (yang memabukkan) secara tegas.[6] Selain itu, ia juga terbiasa membuat patung-patung berhala. Yang kadang-kadang ia buat dari gandum dan manisan. Sehingga, ketika ia lapar, maka ia memakan bagian-bagian dari patung berhala yang ia buat sendiri. [7] Umar masuk Islam ketika berusia dua puluh tujuh tahun.[8] Adapun penyebab ia masuk Islam adalah akibat dari lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an yang dibacakan oleh adiknya bernama Fatimah yang menyebabkan hatinya luluh dan ingin segera menemui Rasulullah untuk menyatakan keIslamannya.[9]
Pada saat menjadi khalifah, ia mendapat gelar amirul mukminin dan al faruq yang artinya pembeda. Ia adalah khalifah yang sangat sederhana. Pada hari Rabu bulan Dzulhijah tahun 23 H Umar Bin Khattab wafat, Beliau ditikam ketika sedang melakukan Shalat Subuh oleh seorang Majusi yang bernama Abu Lu’luah, budak milik al-Mughirah bin Syu’bah diduga ia mendapat perintah dari kalangan Majusi. Umar bin Khattab dimakamkan di samping Nabi saw dan Abu Bakar as Siddiq, beliau wafat dalam usia 63 tahun.[10]
B.  Metode Ijtihad Umar bin Khattab
Pada saat Umar bin Khattab menjadi khalifah, kata-kata musytarak, makna lugas dan kiasan, adanya pertentangan nash juga makna tekstual dan kontekstual sudah mulai ditemukan di dalam Alquran.[11]  Selain faktor-faktor tersebut, masih ada lagi beberapa faktor yang menyebabkan Umar bin Khattab melakukan ijtihad mengenai hukum-hukum islam, diantaranya adalah faktor militer, yakni dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam, faktor sosial yang semakin heterogennya rakyat negara Islam, dan faktor ekonomi.[12]
Adapun metode yang digunakan oleh Umar bin Khattab dalam melakukan ijtihad adalah menggunakan metode bi ra’yi. Ar ra’yu secara bahasa adalah pendapat atau pertimbangan. Sedangkan Ar ra’yu secara istilah, penulis menggunakan pendapat Abdul Wahab Khalaf, yaitu
(Pengarahan) akal dan pemikiran dengan satu atau beberapa media yang syariat mengantarkannya pada petunjuk (Allah) dalam menggali hukum (istinbath) terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuannya di dalam nash.[13]

Kemudian menurut Abu Bakar Ismail Muhammad Miqa, ijtihad bi ra’y baru ada jika ada perbedaan atau pertentangan ‘illat[14]
Adapun kaidah-kaidah umum Umar bin Khattab ra. dalam berijtihad adalah :
1. Berpegang pada nash/teks al-Qur’an dan Sunnah
2. Ijma’ dan Qiyâs. Maksud ijma’ disini adalah kesepakatan orang-orang yang mengerti permasalahan yang dihadapi saat itu dan diikuti oleh orang lain dengan menyetujuinya. Demikian halnya dengan qiyas. Istilah-istilah ushul fikih belumlah ada pada masa Umar, seperti istilah sadz dzarâi’ dan mashlahah. Namun ini diilhami dengan perbandingan suatu masalah dengan yang lainnya yang serupa.
Adapun contoh qiyas adalah seperti ijtihad beliau tentang zakat ‘urûdh tijârah yang diqiyaskan pada zakat emas dan perak. Harga diyat (bukan dengan unta) diqiyaskan dengan penerimaan Rasulullah atas jizyah dengan harga/qîmah (bukan dengan naqd).
3. Maslahah dan Nash. Dua kutub ini yang sangat diperhatikan oleh Umar dalam pengambilan hukum fikih. Karena jika pengambilan hukum hanya didasarkan maslahah semata maka akan cenderung membentur nash. Ketika itu pengambilan hukum benar-benar akan kontroversi dan menabrak nash. Seperti pada contoh had pencuri
4. Mentarjih salah satu kemungkinan-kemungkinan yang masuk akal jika memang bisa berpihak pada kemaslahatan.
5. Maslahah dan Sadz dzarâi’. Umar memang belum mengenal istilah usul fikih ini. Bahwa perlu ada proteksi hukum dan akidah dengan sadz dzarai’ yang dikedepankan dari pada maslahah. Seperti contoh penebangan pohon bai’aturridwân. Hal tersebut beliau lakukan setelah melihat kaum muslimin berbondong-bondong mendatangi pohon tersebut dan shalat dibawahnya. Beliau sangat mengkhawatirkan hal ini bisa mengembalikan kondisi jahiliyah (menyembah berhala) secara pelahan dan berproses.
6. Ta’zir. Yaitu hukuman tertentu yang diterapkan beliau pada masalah-masalah yang tidak ditentukan Rasul saw. Dan kondisi ini pun berbeda-beda satu dengan lainnya.
7. Qarînah yang jelas. Seperti had zina kepada perempuan yang hamil sedangkan ia belum punya suami. Adapun jika qarinah ini ada kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa ditafsirkan maka beliau pun akan memutuskan lain.
8. Lafadz dan Niyat. Artinya ketika seseorang mengucapkan sesuatu yang dimaksudkan untuk menyindir atau menuduh zina, misalnya. Beliau akan segera bertanya dan minta pendapat orang-orang disekitarnya. Jika benar maksudnya adalah menuduh zina maka ia akan segera dihukum. Karena jika orang tersebut ditanya maka ia akan berkelit dan berdalih.[15]

C. Pembaruan Hukum Islam Umar bin Khattab
Adapun pembaruan yang dilakukan oleh Umar bin Khattab pada bidang hukum Islam adalah :
1.    Umar tidak memotong tangan pencuri[16]
Mengenai kasus ini terdapat dua peristiwa yang penulis akan paparkan pada makalah ini yaitu peristiwa pencurian cermin milik istri Ubaidillah bin Amr seharga 60 dinar[17]  oleh budaknya. Umar tidak menjatuhkan hukum potong tangan karena menurtnya budak Ubaidillah mencuri harta tuannya sendiri. Dan yang kedua pencuri di baitul maal, umar juga tidak memotong tangannya karena menurut Umar, di dalam baitul mal tersebut terdapat hak pencuri itu. [18]
Mengenai keputusan Umar ini, Imam Malik dan Syafi'i memandang bahwa apa yang dilakukan oleh Umar adalah sebuah tahsis atas ayat al Qur'an yang masih muthlaq yang terdapat dalam lafadz sariq dan sariqah yaitu hukum potong tangan dikecualikan atas orang-orang yang memiliki unsur hak atas harta yang dicuri sehingga orang yang mencuri di Baitul Maal dan Tuannya tidak dihukum potong tangan.[19]

2. Al-Sawafi / Al-Qata’i
Tanah Al-Sawafi adalah tanah yang pada awalnya milik kaisar atau raja atau keluarganya, atau milik prajurit Negara atau milik sipil yang bergabung dengan pasukan perang atau orang yang membantu dalam distribusi logistik perang.  Maka tanah tersebut diserahkan kepada penguasa atau imam, yang dalam perkembangannya diberikan kepada orang-orang yang berompeten mengurusnya.  Kemudian hasil dari tanah tersebut dialokasikan  kepada bait al maal setelah dipotong dengan upah pengelola tanah. Karena Umar memberikan bagian kepada pengelola berdasarkan pemasukan yang diperoleh dari hasil produksi tanah tersebut. [20]

3. Pembagian Harta Ghanimah (Rampasan Perang)[21]
Pada masa Umar bin Khattab, harta rampasan perang dibagi menjadi dua bagian, yakni harta yang bergerak seperti unta, kuda, emas, perak dan lain sebagainya dan harta yang tidak bergerak seperti tanah pertanian. Harta yang dibagikan Umar adalah harta yang bergerak saja sedangkan harta tak bergerak tidak dibagikan kepada kaum muslimin melainkan disita oleh Negara dengan dikelola oleh pemiliknya sendiri. Namun, pemiliknya dikenakan pajak. Kemudian dari hasil pajak tersebut dibagi-bagikan kepada kaum muslimin setelah disisihkan untuk gaji tentara yang ditugaskan di pos-pos pertahanan seperti Bashrah dan Kufah di Irak, dan negeri-negeri yang terbebaskan.[22]
 Adapun alasan Umar adalah tanah-tanah pertanian tersebut digunakan untuk membiayai keperluan para tentara yang bertugas di wilayah-wilayah pendudukan Islam. Selain itu, untuk mencegah penumpukan harta oleh kaum muslimin. Sehingga yang terjadi adalah adanya kekayaan yang melimpah di satu pihak, dan kebutuhan (kemiskinan) yang mendesak di pihak lain. Sedangkan dalam pandangan Umar, Allah tidak menghendaki harta kekayaan hanya berkisar atau menjadi sumber rejeki kaum kaya saja.[23]  Sehingga menyebabkan orang-orang yang masuk islam dikemudian hari tidak mendapatkan harta lagi dari rampasan perang itu.
4. Had orang yang minum khamr
Pada zaman Umar menjadi khalifah, peminum khamr dicambuk sebanyak 80 kali, sedangkan pada zaman Rasul dicambuk sebanyak 40 kali. Pernyataan ini senada dengan hadits berikut ini.
عَنْ أَنَسِ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيِ بِرَجُلٍ قَدْ شَرِبَ الْخَمْرَ فَجَلَدَهُ بِجَرِيْدَتَيْنِ نَحْوَ اَرْبَعِيْنَ. قَالَ فَعَلَهُ أَبُوْ بَكْرٍ فَلَمَّا كَانَ عُمَرُ اسْتَشَرَ النَّاسَ. فَقَالَ  عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنُ عَوْفٍ : أَخَفُّ الْحُدُوْدِ ثَمَانُوْنَ، فَأَمَرَ بِهِ عُمَرُ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya : Dari Anas bin Malik r.a.; Bahwasanya Nabi saw dihadapkan kepadanya orang yang telah minum arak, maka beliau menjilidnya (mencambuknya, menderanya)[24] dengan dua buah pelepah kurma kira-kira 40 kali, Anas berkata : “Abu Bakarpun melakukannya.” Maka setelah zaman Umar orang-orang bermusyawarat, dan Abdurrahman bin Auf berkata : Hukuman-hukuman yang paling ringan itu ialah delapan puluh dera.” Kemudian Umar memerintahkan hukuman delapan puluh dera itu. (Muttafaq ‘Alaihi)[25]

Adapun perilaku Umar yang memberikan had hukuman yang bagi pemabuk yang melebihi dari sunnah Rasul, Ruwai'i menyatakan bahwa hal itu boleh saja dilakukan apabila dimaksudkan sebagai takzir, hal ini terkait dengan dhohir atsar yang menyatakan kalau hukuman itu tidak mencegahnya baru kemudian ditambahkan hukuman. Dengan begitu penambahan hukuman hanya bersifat takzir. Hal ini mengingat bahwa apa yang menjadi perilaku Nabi, adalah hujjah yang tidak boleh ditinggalkan dan ijma' atas hal-hal yang menyimpanginya hukumnya tidak sah. Meskipun demikian Syafi'i langsung menyepakati hukum dera 80 kali.

D.      Tanggapan Penulis
Jika dilihat hasil ijtihad hukum fiqh Umar bin Khattab, maka terkadang berbeda dengan pada masa Rasulullah. Hal ini dapat difahami karena tingkat kompleskitas dan keberagaman masyarakat pada masa Rasulullah berbeda pada zaman Umar. Ketika Umar diangkat menjadi khalifah wilayah islam sudah berkembang dan bertambah luas sampai ke Mesir sehingga masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Islam pada saat itu lebih beragam dan terkadang belum terjadi pada masa Rasulullah. Selain itu, dalam memutuskan hukum fiqh, Umar bin Khattab mengedepankan kemaslahatan ummat dan pertimbangan-pertimbangan yang didasari berdasarkan kemanusiaan. Maka tidak heran, jika Umar dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan ilmu fiqh berbeda dengan Rasul. Namun, keputusannya tersebut tidak melenceng dari ajaran-ajaran Islam.
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Umar bin Khattab merupakan seorang khalifah yang cerdas dan tegas dalam mengambil keputusan. Hal ini dapat dilihat dari keputusan hasil ijtihadnya yang terkadang berbeda dengan yang dilaksanakan oleh Rasul. Sehingga hasil ijtihad Umar bin Khattab dapat dikatakan pembaruan dalam hukum Islam.

B.       Saran-saran
Penulisan makalah ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik yang sifatnya membangun dan saran-saran dari pembaca sangat diharapkan oleh penulis demi menutupi kekurangan-kekurangan yang terdapat pada makalah ini.








DAFTAR PUSTAKA
Bahri Saiful, Menilik Ijtihad Al Faruq dalam Fiqih, (http://saifulelsaba.wordpress.com) diakses pada tanggal 30 Desember 2011
Biografi Khalifah Umar bin Khattab, (http://www.biografitokohdunia.com) diakses pada tanggal 29 Desember 2011
Biografi Umar bin Khattab, (http://kolom-biografi.blogspot.com) diakses pada tanggal 29 Desember 2011
Fauzi Imron, Riwayat Hidup Umar bin Khattab, (http://makhluktermulia.wordpress.com) diakses pada tanggal 29 Desember 2011
Febriani Asra, Ijtihad ‘Umar Ibn Khattab dan Pembaharu Hukum Islam, (http://www.scribd.com) diakses pada tanggal 30 Desember 2011
Halaqah Dakwah, Umar bin Khattab, Biografi Singkat Khalifah ke-2, (http://halaqahdakwah.wordpress.com) diakses pada tanggal 29 Desember 2011
Kasus Ijtihad Umar ibn Al-Khattab, (http://klik2agama.blogspot.com) diakses pada tanggal 29 Desember 2011
Kausi Chairul, Muhammad Ardiansyah, Ade Mustaqim, Sejarah dan Biografi Umar bin Khattab, (http://www.scribd.com) diakses pada tanggal 29 Desember 2011
Khanif Ahmad, Aida Kamalia, Amri Zarois Ismail, Perkembangan Ijtihad pada Masa Awal Islam (Perkembangan Fiqh dan Ijtihad Umar Ibn Khattab), (http://www.scribd.com) diakses pada tanggal 30 Desember 2011
Nur Akbar Agustiar, Belajar dari “kebodohan” Umar bin Khattab, (http://www.republika.co.id) diakses pada tanggal 29 Desember 2011
Nur Hidayah Ida, M. Noor Khozin, Nurazizah, Syukri Rifa’i, Sejarah Kebudayaan Islam (Madrasah Ibtidaiyah), (Cet.I, Jakarta, Pustakawidya Utama)
Shampton Masduki Achmad, Ijtihad r.a. Tidak Keluar dari Bingkai Al Quran dan Hadits, (http://infopesantren.web.id) diakses pada tanggal 30 Desember 2011
Turmudzi Didik, Biografi Umar bin Khattab RA, (http:// didikturmudi.wordpress.com) diakses pada tanggal 29 Desember 2011
Umar bin Khattab, (http://majlisdzikrullahpekojan.org) diakses pada tanggal 30 Desember 2011
Umar bin Khattab (13-23 H / 634 – 643 M ), (http://istanailmu.com) diakses pada tanggal 29 Desember 2011
Warson Munawwir Achmad, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Cet. XIV, Surabaya, Pustaka Progressif, 1997)



[1] Didik Turmudzi, Biografi Umar bin Khattab RA, (http:// didikturmudi.wordpress.com) diakses pada tanggal 29 Desember 2011
[2] Imron Fauzi, Riwayat Hidup Umar bin Khattab, (http://makhluktermulia.wordpress.com) diakses pada tanggal 29 Desember 2011
[3] Ibid
[4] Biografi Khalifah Umar bin Khattab, (http://www.biografitokohdunia.com) diakses pada tanggal 29 Desember 2011
[5] Biografi Umar bin Khattab, (http://kolom-biografi.blogspot.com) diakses pada tanggal 29 Desember 2011
[6] Halaqah Dakwah, Umar bin Khattab, Biografi Singkat Khalifah ke-2, (http://halaqahdakwah.wordpress.com) diakses pada tanggal 29 Desember 2011
[7] Agustiar Nur Akbar, Belajar dari “kebodohan” Umar bin Khattab, (http://www.republika.co.id) diakses pada tanggal 29 Desember 2011
[8] Chairul Kausi, Muhammad Ardiansyah, Ade Mustaqim, Sejarah dan Biografi Umar bin Khattab, (http://www.scribd.com) diakses pada tanggal 29 Desember 2011
[9] Ida Nur Hidayah, M. Noor Khozin, Nurazizah, Syukri Rifa’i, Sejarah Kebudayaan Islam (Madrasah Ibtidaiyah), (Cet.I, Jakarta, Pustakawidya Utama) h.39
[10] Umar bin Khattab, (http://majlisdzikrullahpekojan.org) diakses pada tanggal 30 Desember 2011
[11] Umar bin Khattab (13-23 H / 634 – 643 M ), (http://istanailmu.com) diakses pada tanggal 29 Desember 2011
[12] Ibid
[13] Ahmad Khanif, Aida Kamalia, Amri Zarois Ismail, Perkembangan Ijtihad pada Masa Awal Islam (Perkembangan Fiqh dan Ijtihad Umar Ibn Khattab), (http://www.scribd.com) diakses pada tanggal 30 Desember 2011
[14] ibid
[15]Saiful Bahri, Menilik Ijtihad Al Faruq dalam Fiqih, (http://saifulelsaba.wordpress.com) diakses pada tanggal 30 Desember 2011
[16] Mengenai hukuman pencuri ini, Al Qur’an membahasnya pada surah Al Maidah (5) : 38
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ÷ƒr& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇÌÑÈ
Artinya : Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Al-Maidah : 38)
[17] Pada zaman Rasul, pencuri yang mencuri ¼ dinar akan dihukum dengan potong tangan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw berikut ini
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ الله ُتَعَالَى عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَتُقْطَعُ يَدُ سَارِقٍ اِلاَّ فِي رُبُعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِدًا. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ، وَلَفْطُ الْبُخَارِيِّ، تُقْتَعُ يَدُ السَّارِقِ فِي رُبُعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِدًا. وَفِي رِوَايَةٍ لِأَحْمَدَ : اقْطَعُوا فِي رُبُعِ دِيْنَارٍ، وَلاَ تَقْطَعُوا فِيْمَا هُوَ  اَدْنَى مِنْ ذَاِلكَ.
Artinya : Dari ‘Aisyah r.a. ia berkata; Rasulullah saw bersabda: “Tidak dipotong tangan pencuri kecuali pada pencurian seperempat dinar dan seterusnya atau lebih. Muttafaq ‘alaih. Lafadh ini adalah lafadh Muslim, adapun lafadh Bukhary: “Tangan pencuri dipotong karena mencuri seperempat dinar dan seterusnya.” Dan sebuah riwayat Ahmad: “Potonglah tangan pencuri karena mencuri seperempat dinar dan jangan dipotong kalau kurang dari itu.” Selain ¼ dinar, Rasulullah juga menghukum potong tangan pencuri 3 dirham, sebagaimana sabda Rasulullah
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ الله ُعَنْهُ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَطَعَ فِي مِجَنٍّ ثَمَنُهُ ثَلاَثَةُ دَرَاهِمَ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya: Dari Ibnu Umar r.a.; “Bahwasanya Nabi saw memotong tangan pencuri perisai yang harganya tiga dirham. (Muttafaqun ‘Alaihi). Al Hafidh Ibnu hajar Asqalany (Terj) Muh. Sjarief Sukundy, Tarjamah Bulughul Marram, (Cet.12, Bandung, PT. Alma’arif, 1996) h. 458
[18] Diriwayatkan oleh Imam Malik, "Sesungguhnya Ubaidillah bin Amr bin al Hadrami datang membawa seorang budak kepada Umar bin Khottob dan berkata, "Potonglah tangan budakku ini karena dia telah mencuri!" Umar bertanya, "Apakah yang dicurinya?" Ubaid menjawab, "Dia telah mencuri cermin istriku seharga 60 dirham." Kemudian Umar berkata: "Pergilah! tidak ada potong tangan baginya. Budakmu mengambil hartamu."
Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah dari al Qosim bin Abdir Rohman, "Sesungguhnya seorang laki-laki mencuri dari Baitul Maal. Kemudian Saad ibn Abi Waqqosh melaporkannya kepada Umar. Umar menyatakan kepada Saad agar tidak memotong tangannya karena bagi pencuri itu ada bagian dari harta Baitul Maal itu." Achmad Shampton Masduki, Ijtihad Umar ra. Tidak Keluar dari Bingkai Al Quran dan Hadits, (http://infopesantren.web.id) diakses pada tanggal 30 Desember 2011
[19] Achmad Shampton Masduki, Ijtihad r.a. Tidak Keluar dari Bingkai Al Quran dan Hadits, (http://infopesantren.web.id) diakses pada tanggal 30 Desember 2011
[20] Asra Febriani, Ijtihad ‘Umar Ibn Khattab dan Pembaharu Hukum Islam, (http://www.scribd.com) diakses pada tanggal 30 Desember 2011
[21] Pada masa Rasulullah harta rampasan perang dibagi-bagikan kepada kaum muslimin secara keseluruhan dalam bentuk utuh tanpa adanya pembagian antara harta yang bergerak dan tak bergerak. Hal ini disandarkan pada Al Qur’an surah Al Fath (48) : 20
ãNä.ytãur ª!$# zOÏR$tótB ZouŽÏVŸ2 $pktXräè{ù's? Ÿ@¤fyèsù öNä3s9 ¾ÍnÉ»yd £#x.ur yÏ÷ƒr& Ĩ$¨Z9$# öNä3Ytã tbqä3tGÏ9ur Zptƒ#uä tûüÏZÏB÷sßJù=Ïj9 öNä3tƒÏôgtƒur $WÛºuŽÅÀ $VJÉ)tFó¡B ÇËÉÈ
Artinya : Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang banyak yang dapat kamu ambil, Maka disegerakan-Nya harta rampasan Ini untukmu dan dia menahan tangan manusia dari (membinasakan)mu (agar kamu mensyukuri-Nya) dan agar hal itu menjadi bukti bagi orang-orang mukmin dan agar dia menunjuki kamu kepada jalan yang lurus. (Q.S. Al-Fath : 20)
[22] Kasus Ijtihad Umar ibn Al-Khattab, (http://klik2agama.blogspot.com) diakses pada tanggal 29 Desember 2011
[23] Pandangan Umar ini dapat ditemukan pada firman Allah surah Al-Hasyr (59) : 7
!$¨B uä!$sùr& ª!$# 4n?tã ¾Ï&Î!qßu ô`ÏB È@÷dr& 3tà)ø9$# ¬Tsù ÉAqߧ=Ï9ur Ï%Î!ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ös1 Ÿw tbqä3tƒ P's!rߊ tû÷üt/ Ïä!$uŠÏYøîF{$# öNä3ZÏB 4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ
Artinya : Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (Q.S. Al-Hasyr : 7)
[24] Achmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Cet. XIV, Surabaya, Pustaka Progressif, 1997) h. 201
[25] Al Hafidh Ibnu hajar Asqalany (Terj) Muh. Sjarief Sukundy, op.cit.,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar