BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Khalifah Umar dikenal sebagai khalifah yang sangat disiplin
dan adil dalam memutuskan suatu perkara yang dihadapi oleh rakyatnya tanpa
melihat latar belakang agama, etnis, ras, dan warna kulit. Ia
tidak memandang apakah itu agama Islam atau Yahudi, ia akan tetap menyalahkan
yang salah meskipun dari golongan Islam dan membenarkan yang benar meskipun
dari golongan Yahudi. Umar juga dikenal sebagai tokoh yang berijtihad dalam
mengambil keputusan. Meskipun pada kejadian tersebut sudah terjadi pada masa
Rasul dan telah ditetapkan keputusannya oleh Rasulullah. Hal ini Khalifah
Umar lakukan, untuk kemaslahatan ummat dan
memberikan efek jera pada pelaku kejahatan dan untuk mengurangi pelaku maksiat.
Khalifah Umar melakukan ijtihad menggunakan beberapa
metode yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan suatu hukum fiqh.
Hal ini perlu dilakukan, karena permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat
Islam semakin beragam dan kompleks disebabkan perkembangan zaman yang terjadi
semakin cepat. Permasalahan-permasalahan tersebut perlu diselesaikan dengan
cepat dan tepat agar tidak menimbulkan kebingungan dalam masyarakat Islam.
Hasil ijtihad Khalifah Umar memberikan khazanah
pengetahuan yang luas dalam agama Islam yang belum diperoleh pada masa-masa
sebelum Khalifah Umar, hal ini menyebabkan timbulnya pikiran-pikiran dan
hukum-hukum baru dari hasil penetapan hukum yang dilakukan oleh Khalifah Umar
bin Khattab.
Berdasarkan latar belakang tersebut, materi yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana metode ijtihad khalifah Umar bin
Khattab dan bagaimana pembaruan yang dilakukan khalifah Umar bin Khattab
II.
Pembahasan
A. Riwayat
Hidup Umar bin Khattab
Umar bin Khattab lahir di kota Mekah pada
tahun 513 M.[1]
Nama lengkapnya adalah Umar bin Khattab bin Naufal bin Abdul Uzza bin Riyah bin
Abdullah bin Qarth bin Razah bin ‘Adiy bin Ka’ab bin Lu’ay bin
Ghalib.[2] Ibunya bernama Khatamah binti Hasyim bin al
Mughirah al Makhzumiyah.[3]
Ia berasal dari bani Adi, salah satu bagian suku Quraisy.[4]
Keluarga Umar tergolong keluarga kelas menengah, ia bisa membaca dan menulis
yang pada masa itu merupakan sesuatu yang jarang. Umar juga dikenal karena
fisiknya yang kuat dimana ia menjadi juara gulat di Mekkah.[5]
Sebelum memeluk Islam, sebagaimana tradisi
kaum jahiliyah mekkah saat itu, Umar mengubur putrinya hidup-hidup. Kemudian menurut beberapa catatan mengatakan
bahwa pada masa pra-Islam, Umar suka mabuk-mabukan dengan cara meminum anggur. Namun,
setelah menjadi muslim, ia tidak menyentuh alkohol sama sekali, meskipun belum
diturunkan larangan meminum khamar (yang memabukkan) secara tegas.[6]
Selain itu, ia juga terbiasa membuat patung-patung berhala. Yang kadang-kadang
ia buat dari gandum dan manisan. Sehingga, ketika ia lapar, maka ia memakan bagian-bagian
dari patung berhala yang ia buat sendiri. [7]
Umar masuk Islam ketika berusia dua
puluh tujuh tahun.[8] Adapun penyebab ia masuk Islam adalah akibat dari
lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an yang dibacakan oleh adiknya bernama Fatimah
yang menyebabkan hatinya luluh dan ingin segera menemui Rasulullah untuk
menyatakan keIslamannya.[9]
Pada saat menjadi khalifah, ia
mendapat gelar amirul mukminin dan al faruq yang artinya pembeda. Ia adalah
khalifah yang sangat sederhana. Pada hari Rabu
bulan Dzulhijah tahun 23 H Umar Bin Khattab wafat, Beliau ditikam ketika sedang
melakukan Shalat Subuh oleh seorang Majusi yang bernama Abu Lu’luah, budak
milik al-Mughirah bin Syu’bah diduga ia mendapat perintah dari kalangan Majusi.
Umar bin Khattab dimakamkan di samping Nabi saw dan Abu Bakar as Siddiq, beliau
wafat dalam usia 63 tahun.[10]
B. Metode Ijtihad Umar bin
Khattab
Pada saat Umar bin
Khattab menjadi khalifah, kata-kata musytarak, makna lugas dan kiasan, adanya
pertentangan nash juga makna tekstual dan kontekstual sudah mulai ditemukan di
dalam Alquran.[11] Selain faktor-faktor tersebut, masih ada lagi
beberapa faktor yang menyebabkan Umar bin Khattab melakukan ijtihad mengenai
hukum-hukum islam, diantaranya adalah faktor militer, yakni dengan meluasnya
wilayah kekuasaan Islam, faktor sosial yang semakin heterogennya rakyat negara
Islam, dan faktor ekonomi.[12]
Adapun metode yang digunakan oleh Umar bin
Khattab dalam melakukan ijtihad adalah menggunakan metode bi ra’yi. Ar ra’yu
secara bahasa adalah pendapat atau pertimbangan. Sedangkan Ar ra’yu secara
istilah, penulis menggunakan pendapat Abdul Wahab Khalaf, yaitu
(Pengarahan) akal dan pemikiran dengan satu atau beberapa media yang
syariat mengantarkannya pada petunjuk (Allah) dalam menggali hukum (istinbath)
terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuannya di dalam nash.[13]
Kemudian menurut Abu Bakar Ismail Muhammad Miqa, ijtihad bi ra’y
baru ada jika ada perbedaan atau pertentangan ‘illat[14]
Adapun
kaidah-kaidah umum Umar bin Khattab ra. dalam berijtihad adalah :
1. Berpegang pada nash/teks
al-Qur’an dan Sunnah
2. Ijma’ dan Qiyâs. Maksud
ijma’ disini adalah kesepakatan orang-orang yang mengerti permasalahan yang
dihadapi saat itu dan diikuti oleh orang lain dengan menyetujuinya. Demikian
halnya dengan qiyas. Istilah-istilah ushul fikih belumlah ada pada masa Umar,
seperti istilah sadz dzarâi’ dan mashlahah. Namun ini diilhami
dengan perbandingan suatu masalah dengan yang lainnya yang serupa.
Adapun contoh qiyas adalah seperti ijtihad beliau tentang
zakat ‘urûdh tijârah yang diqiyaskan pada zakat emas dan perak. Harga diyat
(bukan dengan unta) diqiyaskan dengan penerimaan Rasulullah atas jizyah
dengan harga/qîmah (bukan dengan naqd).
3. Maslahah dan Nash.
Dua kutub ini yang sangat diperhatikan oleh Umar dalam pengambilan hukum fikih.
Karena jika pengambilan hukum hanya didasarkan maslahah semata maka akan
cenderung membentur nash. Ketika itu pengambilan hukum benar-benar akan
kontroversi dan menabrak nash. Seperti pada contoh had pencuri
4. Mentarjih salah satu
kemungkinan-kemungkinan yang masuk akal jika memang bisa berpihak pada
kemaslahatan.
5. Maslahah dan Sadz
dzarâi’. Umar memang belum mengenal istilah usul fikih ini. Bahwa perlu ada
proteksi hukum dan akidah dengan sadz dzarai’ yang dikedepankan dari
pada maslahah. Seperti contoh penebangan pohon bai’aturridwân.
Hal tersebut beliau lakukan setelah melihat kaum muslimin berbondong-bondong
mendatangi pohon tersebut dan shalat dibawahnya. Beliau sangat mengkhawatirkan
hal ini bisa mengembalikan kondisi jahiliyah (menyembah berhala) secara pelahan
dan berproses.
6. Ta’zir. Yaitu hukuman
tertentu yang diterapkan beliau pada masalah-masalah yang tidak ditentukan
Rasul saw. Dan kondisi ini pun berbeda-beda satu dengan lainnya.
7. Qarînah yang jelas.
Seperti had zina kepada perempuan yang hamil sedangkan ia belum punya suami.
Adapun jika qarinah ini ada kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa
ditafsirkan maka beliau pun akan memutuskan lain.
8. Lafadz dan Niyat. Artinya ketika
seseorang mengucapkan sesuatu yang dimaksudkan untuk menyindir atau menuduh
zina, misalnya. Beliau akan segera bertanya dan minta pendapat orang-orang
disekitarnya. Jika benar maksudnya adalah menuduh zina maka ia akan segera
dihukum. Karena jika orang tersebut ditanya maka ia akan berkelit dan berdalih.[15]
C.
Pembaruan Hukum Islam Umar bin Khattab
Adapun pembaruan yang dilakukan oleh Umar bin Khattab
pada bidang hukum Islam adalah :
Mengenai kasus ini terdapat dua peristiwa
yang penulis akan paparkan pada makalah ini yaitu peristiwa pencurian cermin
milik istri Ubaidillah bin Amr seharga 60 dinar[17] oleh budaknya. Umar tidak menjatuhkan hukum
potong tangan karena menurtnya budak Ubaidillah mencuri harta tuannya sendiri.
Dan yang kedua pencuri di baitul maal, umar juga tidak memotong tangannya
karena menurut Umar, di dalam baitul mal tersebut terdapat hak pencuri itu. [18]
Mengenai keputusan Umar
ini, Imam Malik dan Syafi'i memandang bahwa apa yang dilakukan oleh Umar adalah
sebuah tahsis atas ayat al Qur'an yang masih muthlaq yang
terdapat dalam lafadz sariq dan sariqah yaitu hukum potong
tangan dikecualikan atas orang-orang yang memiliki unsur hak atas harta yang
dicuri sehingga orang yang mencuri di Baitul Maal dan Tuannya tidak dihukum
potong tangan.[19]
2. Al-Sawafi / Al-Qata’i
Tanah Al-Sawafi adalah tanah yang pada
awalnya milik kaisar atau raja atau keluarganya, atau milik prajurit Negara
atau milik sipil yang bergabung dengan pasukan perang atau orang yang membantu
dalam distribusi logistik perang. Maka
tanah tersebut diserahkan kepada penguasa atau imam, yang dalam perkembangannya
diberikan kepada orang-orang yang berompeten mengurusnya. Kemudian hasil dari tanah tersebut
dialokasikan kepada bait al maal setelah
dipotong dengan upah pengelola tanah. Karena Umar memberikan bagian kepada
pengelola berdasarkan pemasukan yang diperoleh dari hasil produksi tanah
tersebut. [20]
3.
Pembagian Harta Ghanimah (Rampasan Perang)[21]
Pada masa Umar bin Khattab, harta rampasan perang dibagi
menjadi dua bagian, yakni harta yang bergerak seperti unta, kuda, emas, perak
dan lain sebagainya dan harta yang tidak bergerak seperti tanah pertanian.
Harta yang dibagikan Umar adalah harta yang bergerak saja sedangkan harta tak
bergerak tidak dibagikan kepada kaum muslimin melainkan disita oleh Negara
dengan dikelola oleh pemiliknya sendiri. Namun, pemiliknya dikenakan pajak.
Kemudian dari hasil pajak tersebut dibagi-bagikan kepada kaum muslimin setelah
disisihkan untuk gaji tentara yang ditugaskan di pos-pos pertahanan seperti
Bashrah dan Kufah di Irak, dan negeri-negeri yang terbebaskan.[22]
Adapun
alasan Umar adalah tanah-tanah pertanian tersebut digunakan untuk membiayai
keperluan para tentara yang bertugas di wilayah-wilayah pendudukan Islam.
Selain itu, untuk mencegah penumpukan harta oleh kaum muslimin. Sehingga yang
terjadi adalah adanya kekayaan yang melimpah di satu pihak, dan kebutuhan
(kemiskinan) yang mendesak di pihak lain. Sedangkan dalam pandangan Umar, Allah
tidak menghendaki harta kekayaan hanya berkisar atau menjadi sumber rejeki kaum
kaya saja.[23] Sehingga menyebabkan orang-orang yang masuk
islam dikemudian hari tidak mendapatkan harta lagi dari rampasan perang itu.
4. Had orang yang minum khamr
Pada zaman Umar
menjadi khalifah, peminum khamr dicambuk sebanyak 80 kali, sedangkan pada zaman
Rasul dicambuk sebanyak 40 kali. Pernyataan ini senada dengan hadits berikut
ini.
عَنْ أَنَسِ
بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أُتِيِ بِرَجُلٍ قَدْ شَرِبَ الْخَمْرَ فَجَلَدَهُ بِجَرِيْدَتَيْنِ نَحْوَ اَرْبَعِيْنَ.
قَالَ فَعَلَهُ أَبُوْ بَكْرٍ فَلَمَّا كَانَ عُمَرُ اسْتَشَرَ النَّاسَ. فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنُ عَوْفٍ : أَخَفُّ الْحُدُوْدِ
ثَمَانُوْنَ، فَأَمَرَ بِهِ عُمَرُ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya
: Dari Anas bin Malik r.a.; Bahwasanya Nabi saw dihadapkan kepadanya orang yang
telah minum arak, maka beliau menjilidnya (mencambuknya, menderanya)[24]
dengan dua buah pelepah kurma kira-kira 40 kali, Anas berkata : “Abu Bakarpun
melakukannya.” Maka setelah zaman Umar orang-orang bermusyawarat, dan
Abdurrahman bin Auf berkata : Hukuman-hukuman yang paling ringan itu ialah
delapan puluh dera.” Kemudian Umar memerintahkan hukuman delapan puluh dera
itu. (Muttafaq ‘Alaihi)[25]
Adapun perilaku
Umar yang memberikan had hukuman yang bagi pemabuk yang melebihi dari sunnah
Rasul, Ruwai'i menyatakan bahwa hal itu boleh saja dilakukan apabila
dimaksudkan sebagai takzir, hal ini terkait dengan dhohir atsar
yang menyatakan kalau hukuman itu tidak mencegahnya baru kemudian ditambahkan
hukuman. Dengan begitu penambahan hukuman hanya bersifat takzir. Hal
ini mengingat bahwa apa yang menjadi perilaku Nabi, adalah hujjah yang
tidak boleh ditinggalkan dan ijma' atas hal-hal yang menyimpanginya
hukumnya tidak sah. Meskipun demikian Syafi'i langsung menyepakati hukum dera
80 kali.
D. Tanggapan Penulis
Jika dilihat hasil ijtihad hukum
fiqh Umar bin Khattab, maka terkadang berbeda dengan pada masa Rasulullah. Hal
ini dapat difahami karena tingkat kompleskitas dan keberagaman masyarakat pada
masa Rasulullah berbeda pada zaman Umar. Ketika Umar diangkat menjadi khalifah
wilayah islam sudah berkembang dan bertambah luas sampai ke Mesir sehingga
masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Islam pada saat itu lebih beragam dan
terkadang belum terjadi pada masa Rasulullah. Selain itu, dalam memutuskan
hukum fiqh, Umar bin Khattab mengedepankan kemaslahatan ummat dan
pertimbangan-pertimbangan yang didasari berdasarkan kemanusiaan. Maka tidak
heran, jika Umar dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan ilmu fiqh
berbeda dengan Rasul. Namun, keputusannya tersebut tidak melenceng dari
ajaran-ajaran Islam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Umar bin Khattab merupakan seorang
khalifah yang cerdas dan tegas dalam mengambil keputusan. Hal ini dapat dilihat
dari keputusan hasil ijtihadnya yang terkadang berbeda dengan yang dilaksanakan
oleh Rasul. Sehingga hasil ijtihad Umar bin Khattab dapat dikatakan pembaruan
dalam hukum Islam.
B. Saran-saran
Penulisan
makalah ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik yang
sifatnya membangun dan saran-saran dari pembaca sangat diharapkan oleh penulis
demi menutupi kekurangan-kekurangan yang terdapat pada makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bahri Saiful, Menilik
Ijtihad Al Faruq dalam Fiqih, (http://saifulelsaba.wordpress.com)
diakses pada tanggal 30 Desember 2011
Biografi
Khalifah Umar bin Khattab, (http://www.biografitokohdunia.com)
diakses pada tanggal 29 Desember 2011
Biografi Umar
bin Khattab, (http://kolom-biografi.blogspot.com)
diakses pada tanggal 29 Desember 2011
Fauzi Imron, Riwayat
Hidup Umar bin Khattab, (http://makhluktermulia.wordpress.com) diakses pada
tanggal 29 Desember 2011
Febriani Asra, Ijtihad
‘Umar Ibn Khattab dan Pembaharu Hukum Islam, (http://www.scribd.com) diakses pada
tanggal 30 Desember 2011
Halaqah Dakwah, Umar
bin Khattab, Biografi Singkat Khalifah ke-2, (http://halaqahdakwah.wordpress.com)
diakses pada tanggal 29 Desember 2011
Kasus Ijtihad
Umar ibn Al-Khattab, (http://klik2agama.blogspot.com) diakses
pada tanggal 29 Desember 2011
Kausi Chairul, Muhammad
Ardiansyah, Ade Mustaqim, Sejarah dan Biografi Umar bin Khattab, (http://www.scribd.com) diakses pada
tanggal 29 Desember 2011
Khanif Ahmad, Aida
Kamalia, Amri Zarois Ismail, Perkembangan Ijtihad pada Masa Awal Islam
(Perkembangan Fiqh dan Ijtihad Umar Ibn Khattab), (http://www.scribd.com) diakses pada
tanggal 30 Desember 2011
Nur Akbar Agustiar, Belajar
dari “kebodohan” Umar bin Khattab, (http://www.republika.co.id)
diakses pada tanggal 29 Desember 2011
Nur Hidayah Ida, M.
Noor Khozin, Nurazizah, Syukri Rifa’i, Sejarah Kebudayaan Islam (Madrasah
Ibtidaiyah), (Cet.I, Jakarta, Pustakawidya Utama)
Shampton Masduki
Achmad, Ijtihad r.a. Tidak Keluar dari Bingkai Al Quran dan Hadits, (http://infopesantren.web.id) diakses pada
tanggal 30 Desember 2011
Turmudzi Didik, Biografi
Umar bin Khattab RA, (http:// didikturmudi.wordpress.com) diakses pada
tanggal 29 Desember 2011
Umar bin
Khattab, (http://majlisdzikrullahpekojan.org)
diakses pada tanggal 30 Desember 2011
Umar bin Khattab
(13-23 H / 634 – 643 M ), (http://istanailmu.com) diakses pada
tanggal 29 Desember 2011
Warson Munawwir Achmad, Kamus
Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Cet. XIV, Surabaya, Pustaka
Progressif, 1997)
[1] Didik Turmudzi, Biografi
Umar bin Khattab RA, (http:// didikturmudi.wordpress.com) diakses pada
tanggal 29 Desember 2011
[2] Imron Fauzi, Riwayat
Hidup Umar bin Khattab, (http://makhluktermulia.wordpress.com) diakses pada
tanggal 29 Desember 2011
[3] Ibid
[4] Biografi Khalifah
Umar bin Khattab, (http://www.biografitokohdunia.com)
diakses pada tanggal 29 Desember 2011
[5] Biografi Umar bin
Khattab, (http://kolom-biografi.blogspot.com) diakses pada tanggal 29
Desember 2011
[6] Halaqah Dakwah, Umar
bin Khattab, Biografi Singkat Khalifah ke-2, (http://halaqahdakwah.wordpress.com)
diakses pada tanggal 29 Desember 2011
[7] Agustiar Nur Akbar, Belajar
dari “kebodohan” Umar bin Khattab, (http://www.republika.co.id)
diakses pada tanggal 29 Desember 2011
[8] Chairul Kausi, Muhammad
Ardiansyah, Ade Mustaqim, Sejarah dan Biografi Umar bin Khattab, (http://www.scribd.com) diakses pada
tanggal 29 Desember 2011
[9] Ida Nur Hidayah, M.
Noor Khozin, Nurazizah, Syukri Rifa’i, Sejarah Kebudayaan Islam (Madrasah
Ibtidaiyah), (Cet.I, Jakarta, Pustakawidya Utama) h.39
[10] Umar bin Khattab,
(http://majlisdzikrullahpekojan.org)
diakses pada tanggal 30 Desember 2011
[11] Umar bin Khattab
(13-23 H / 634 – 643 M ), (http://istanailmu.com)
diakses pada tanggal 29 Desember 2011
[12] Ibid
[13] Ahmad Khanif, Aida
Kamalia, Amri Zarois Ismail, Perkembangan Ijtihad pada Masa Awal Islam
(Perkembangan Fiqh dan Ijtihad Umar Ibn Khattab), (http://www.scribd.com) diakses pada
tanggal 30 Desember 2011
[14] ibid
[15]Saiful Bahri, Menilik
Ijtihad Al Faruq dalam Fiqih, (http://saifulelsaba.wordpress.com)
diakses pada tanggal 30 Desember 2011
[16] Mengenai hukuman
pencuri ini, Al Qur’an membahasnya pada surah Al Maidah (5) : 38
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtÏ÷r&
Lä!#ty_
$yJÎ/ $t7|¡x.
Wx»s3tR z`ÏiB
«!$#
3 ª!$#ur îÍtã
ÒOÅ3ym ÇÌÑÈ
Artinya : Laki-laki yang mencuri
dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi
apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Al-Maidah : 38)
[17] Pada zaman Rasul,
pencuri yang mencuri ¼ dinar akan dihukum dengan potong tangan. Sebagaimana
sabda Rasulullah saw berikut ini
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ الله ُتَعَالَى عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَتُقْطَعُ يَدُ سَارِقٍ اِلاَّ فِي رُبُعِ دِيْنَارٍ
فَصَاعِدًا. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ، وَلَفْطُ الْبُخَارِيِّ،
تُقْتَعُ يَدُ السَّارِقِ فِي رُبُعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِدًا. وَفِي رِوَايَةٍ لِأَحْمَدَ
: اقْطَعُوا فِي رُبُعِ دِيْنَارٍ، وَلاَ تَقْطَعُوا فِيْمَا هُوَ اَدْنَى مِنْ ذَاِلكَ.
Artinya : Dari ‘Aisyah r.a. ia berkata;
Rasulullah saw bersabda: “Tidak dipotong tangan pencuri kecuali pada pencurian
seperempat dinar dan seterusnya atau lebih. Muttafaq ‘alaih. Lafadh ini adalah
lafadh Muslim, adapun lafadh Bukhary: “Tangan pencuri dipotong karena mencuri
seperempat dinar dan seterusnya.” Dan sebuah riwayat Ahmad: “Potonglah tangan pencuri
karena mencuri seperempat dinar dan jangan dipotong kalau kurang dari itu.” Selain
¼ dinar, Rasulullah juga menghukum potong tangan pencuri 3 dirham, sebagaimana
sabda Rasulullah
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ الله
ُعَنْهُ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَطَعَ فِي مِجَنٍّ
ثَمَنُهُ ثَلاَثَةُ دَرَاهِمَ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya: Dari Ibnu Umar r.a.; “Bahwasanya
Nabi saw memotong tangan pencuri perisai yang harganya tiga dirham. (Muttafaqun
‘Alaihi). Al Hafidh Ibnu hajar Asqalany (Terj) Muh. Sjarief Sukundy, Tarjamah
Bulughul Marram, (Cet.12, Bandung, PT. Alma’arif, 1996) h. 458
[18] Diriwayatkan oleh Imam Malik,
"Sesungguhnya Ubaidillah bin Amr bin al Hadrami datang membawa seorang
budak kepada Umar bin Khottob dan berkata, "Potonglah tangan budakku ini
karena dia telah mencuri!" Umar bertanya, "Apakah yang
dicurinya?" Ubaid menjawab, "Dia telah mencuri cermin istriku seharga
60 dirham." Kemudian Umar berkata: "Pergilah! tidak ada potong tangan
baginya. Budakmu mengambil hartamu."
Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah dari al
Qosim bin Abdir Rohman, "Sesungguhnya seorang laki-laki mencuri dari
Baitul Maal. Kemudian Saad ibn Abi Waqqosh melaporkannya kepada Umar. Umar
menyatakan kepada Saad agar tidak memotong tangannya karena bagi pencuri itu
ada bagian dari harta Baitul Maal itu." Achmad Shampton Masduki, Ijtihad
Umar ra. Tidak Keluar dari Bingkai Al Quran dan Hadits, (http://infopesantren.web.id) diakses pada
tanggal 30 Desember 2011
[19] Achmad Shampton
Masduki, Ijtihad r.a. Tidak Keluar dari Bingkai Al Quran dan Hadits, (http://infopesantren.web.id) diakses pada
tanggal 30 Desember 2011
[20] Asra Febriani, Ijtihad
‘Umar Ibn Khattab dan Pembaharu Hukum Islam, (http://www.scribd.com) diakses pada
tanggal 30 Desember 2011
[21] Pada masa Rasulullah
harta rampasan perang dibagi-bagikan kepada kaum muslimin secara keseluruhan
dalam bentuk utuh tanpa adanya pembagian antara harta yang bergerak dan tak
bergerak. Hal ini disandarkan pada Al Qur’an surah Al Fath (48) : 20
ãNä.ytãur ª!$# zOÏR$tótB
ZouÏV2 $pktXräè{ù's? @¤fyèsù öNä3s9 ¾ÍnÉ»yd £#x.ur yÏ÷r& Ĩ$¨Z9$# öNä3Ytã
tbqä3tGÏ9ur Zpt#uä
tûüÏZÏB÷sßJù=Ïj9
öNä3tÏôgtur
$WÛºuÅÀ
$VJÉ)tFó¡B
ÇËÉÈ
Artinya
: Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang banyak yang dapat kamu
ambil, Maka disegerakan-Nya harta rampasan Ini untukmu dan dia menahan
tangan manusia dari (membinasakan)mu (agar kamu mensyukuri-Nya) dan agar hal
itu menjadi bukti bagi orang-orang mukmin dan agar dia menunjuki kamu kepada
jalan yang lurus. (Q.S. Al-Fath : 20)
[22] Kasus Ijtihad Umar
ibn Al-Khattab, (http://klik2agama.blogspot.com)
diakses pada tanggal 29 Desember 2011
[23] Pandangan Umar ini
dapat ditemukan pada firman Allah surah Al-Hasyr (59) : 7
!$¨B uä!$sùr& ª!$# 4n?tã ¾Ï&Î!qßu ô`ÏB È@÷dr& 3tà)ø9$# ¬Tsù ÉAqߧ=Ï9ur Ï%Î!ur
4n1öà)ø9$#
4yJ»tGuø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ös1 w tbqä3t
P's!rß tû÷üt/ Ïä!$uÏYøîF{$# öNä3ZÏB
4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù
$tBur öNä39pktX
çm÷Ytã
(#qßgtFR$$sù
4 (#qà)¨?$#ur
©!$#
( ¨bÎ) ©!$# ßÏx©
É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ
Artinya : Apa saja harta rampasan
(fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal
dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya
harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu.
apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
amat keras hukumannya. (Q.S. Al-Hasyr : 7)
[24] Achmad Warson
Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Cet. XIV,
Surabaya, Pustaka Progressif, 1997) h. 201
Tidak ada komentar:
Posting Komentar